Saat ini, Bahan Bakar MInyak (BBM) sudah menjadi salah satu
kebutuhan utama masyarakat dunia termasuk Indonesia. Kenaikan harga minyak
secara langsung akan meningkatkan biaya produksi barang dan jasa dan beban
hidup masyarakat dan pada akhirnya akan memperlemah pertumbuhan ekonomi dunia.
Kenaikan harga minyak yang mencapai 60.63 US$/Barel memberikan masalah
tersendiri bagi negara-negara pengimpor minyak. Kenaikan harga minyak menjadi
petaka tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Pada kenyataannya Indonesia yang
saat ini dikenal sebagai salah satu penghasil minyak dunia sekarang merupakan
salah satu negara pengimpor minyak
Terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi kenaikan harga
minyak secara tajam. Pertama, invasi Amerika Serikat ke Irak: invasi ini
menyebabkan ladang minyak di Irak tidak dapat berproduksi secara optimal
sehingga supply minyak mengalami penurunan. Kedua, permintaan minyak yang cukup
besar dari India dan Cina. Ketiga, badai Katrina dan Rita yang melanda Amerika
Serikat dan merusak kegiatan produksi minyak di Teluk Meksiko Keempat,
ketidakmampuan dari OPEC untuk menstabilkan harga minyak dunia.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu menimbulkan
pro-kontra dikalangan masyarakat dan banyak opini/pendapat muncul tanpa diikuti
oleh data-data yang akurat sehingga membingungkan masyarakat. Dengan adanya
fenomena tersebut maka, pemahaman yang komprehensif mengenai permasalahan BBM
sangat dibutuhkan agar dapat membuka cakrawala dan pola pikir baru terhadap
permasalahan yang terjadi. Sehingga masyarakat Indonesia tidak hanya terus dan
terus menyalahkan pemerintah, tapi ikut serta memikirkan solusi yang terbaik
atas permasalahan BBM ini. Pada tulisan ini, penulis berupaya memberikan
gambaran yang obyektif terhadap permasalahan BBM di Indonesia akan tetapi yang
akan lebih ditekankan di sini adalah dampak kenaikan harga BBM terhadap petani.
Topik ini diangkat oleh penulis mengingat Indonesia merupakan Negara agraris
yang sebagian penduduknya hidup dari hasil dan produksi pertanian.
Dampak terhadap kehidupan petani berasal dari kenaikan harga
pangan dan kenaikan harga barang-barang input pertanian. “Dengan pendapatan
kurang dari Rp 500.000 per bulan, kenaikan harga pangan tentu menyulitkan.
Belum lagi naiknya harga input pertanian akibat kenaikan BMM,” tutur Said
Abdullah, advokasi officer Koalisi Rakyat untuk Kedaultan Pangan (KRKP).
Saat ini, sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi berlaku,
setidaknya 55% pendapatan petani dialokasikan untuk modal bertani, seperti
membeli benih, pupuk, dan pestisida. Kenaikan harga BBM bersubsidi diperkirakan
akan meningkatkan harga modal pertanian tersebut sekitar 10% hingga 15%.
Akibatnya, alokasi pendapatan petani untuk modal pertanian bisa naik menjadi
60% hingga 75%. Akibatnya, para petani akan sulit untuk memenuhi kebutuhan
lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan bahan pangan.
Apalagi pemerintah mau mengurangi subsidi pupuk dan benih yang termuat dalam
RAPBN Perubahan (RAPBNP) 2012. Subsidi pupuk akan dipangkas dari Rp16,94
triliun menjadi Rp 13,95 triliun atau berkurang Rp 2,98 triliun. Sementara
subsidi benih dipotong hingga 53,7%, dari Rp 279,9 miliar menjadi Rp 129,5
miliar.
KRKP memperkirakan para petani akan terus bergulung dengan utang. “Pemberian
bantuan langsung selain tidak mendidik, itu hanya pelipur lara sesaat. Bantuan
langsung tidak akan menjawab persoalan pokok petani,” kata Said.
Seyogyanya uang penghematan subsidi BBM yang mencapai Rp 38 triliun
dialokasikan untuk membantu petani untuk meningkatkan kinerja produksi
pertanian. Seperti member jaminan harga gabah dari pemerintah pada saat panen,
ganti rugi jika terjadi gagal panen, menyediakan akses atas lahan dan input
pertanian yang tak memberatkan, dan asuransi kesehatan dan pendidikan bagi
keluarga petani.
Sumber : kontan.co.id
dan http://rizalm09.student.ipb.ac.id/ di akses tanggal 09 may 2012